Tiga wanita itu turun dari tiga mobil mewah dengan raut cerah.
Mereka perlahan-lahan masuk ke sebuah hotel bintang lima di kawasan
segitiga emas Jakarta, pekan lalu. Di lobi, 12 orang menghampiri dan
mereka segera terlibat percakapan serius. Tiga menit kemudian, mereka
terlihat bersalam-salaman dan 12 orang itu pamit.
Di coffee shop,
ketiga wanita itu berembuk, saling mencocokkan data selama 10 menit.
Sejurus kemudian, mereka terlibat dalam rapat membahas rencana kerja.
Hanya sesekali terdengar canda segar, selebihnya berdiskusi dalam
rentang waktu ketat. ”Sebagai broker properti, kami amat cermat
bekerja,” tutur Sri Utami, salah seorang wanita itu. ”Kami sama-sama
sibuk, maka menggunakan waktu sangat efisien.”
Sri dan dua
temannya, Fajriah dan Melania, sangat menyadari bahwa sebagai broker
profesional, mereka harus memiliki keunggulan-keunggulan komparatif
dibandingkan dengan broker lain. Mereka memiliki basis data yang
komplet, terutama di Pulau Jawa. Hendak bertanya sampai ke proyek
dengan skala 5 hektar ke atas, mereka miliki. Mereka pun mengantongi
data menyangkut luasan rumah, harga, dan cara praktis membeli atau
menjual rumah atau apartemen. Data yang mereka tawarkan kerap dalam
tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Inilah
salah satu sebab mereka menjadi tempat bertanya para pengembang,
eksekutif properti, dan para pencari rumah/apartemen.
Para
broker seperti Sri dan kawan-kawan ini pula yang mempunyai kontribusi
larisnya sebuah perumahan dan apartemen. Kalau ada apartemen atau
perumahan bisa tandas dalam sehari sampai sepekan lamanya, tentu ada
kontribusi para broker, sekecil apa pun itu. Bukan rahasia lagi kalau
para staf pengembang memandang mereka sebagai salah satu faktor
suksesnya penjualan rumah/apartemen. Para staf pengembang tersebut
memang mempunyai banyak staf dan jaringan luas untuk merengkuh para
pembeli. Akan tetapi, pasukan ”penjual dan pemasaran” itu tentu tidak
cukup memadai untuk menjangkau semua lapisan pembeli. Para broker tetap
dibutuhkan untuk menjaring pembeli.
Ray Susilo, eksekutif
properti di Jakarta, mengatakan, jangan remehkan pendapatan para broker
properti ini. Jika memiliki jaringan sangat luas dan berbakat
memasarkan properti, seorang broker mampu meraih penghasilan bersih Rp
100 juta per bulan. Sesekali ada broker yang kariernya sedang berkilau
bisa mendapat Rp 1,5 miliar per bulan dalam kurun waktu setengah tahun.
Ini sebabnya, para broker yang ahli ”bertarung di lapangan” mampu
membeli mobil mewah keluaran Jerman dan Inggris.
Pekerjaan menjadi broker properti dalam era booming
properti seperti sekarang merupakan pekerjaan menjanjikan. Namun,
sayang, tidak banyak yang melihat ini sebagai peluang. Padahal, kalau
dikembangkan sedemikian rupa, pendapatan mereka bisa jauh di atas gaji
bersih seorang direktur utama perusahaan badan usaha milik negara.
Syaratnya pun tidak banyak, jaringan yang sangat luas, sangat luwes,
memiliki kapasitas pemasaran dan penjualan, memiliki integritas tinggi,
mempunyai etika yang terpuji, berbahasa Inggris fasih, dan sebagainya.
Di
luar pekerjaan broker, masih banyak jenis pekerjaan yang memberi
perolehan amat besar, tetapi belum terlampau populer, yakni pekerjaan
di bidang asuransi. Mengapa? Karena pekerjaan ini (dalam bahasa
guyonan) dipandang ”menjual angin”. Namun, tak banyak yang tahu, banyak
yang kaya raya karena bekerja di perusahaan asuransi. Pekerjaan lain
yang kini sangat menjanjikan adalah menjadi ahli teknologi informasi.
Di
Singapura, sekadar menyebut contoh, seorang ahli teknologi informasi
mampu meraih pendapatan bersih Rp 80 juta sampai Rp 1,5 miliar per
bulan. Kita suka terjebak dalam pemikiran bahwa pekerjaan yang mapan
itu adalah bekerja di kantor, masuk jam sekian, dan pulang jam sekian.
Padahal, di luar kantor ada banyak pekerjaan prestisius.Abun Sanda--Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar